Senin, 09 Februari 2009

Revolusi Hijau Kebablasan Versus Reformasi “Hijau” Berkelanjutan

Image by Igan Lantang klik di http://www.pbb-info.com

Prahara ekonomi, sosial dan politik

Setiap zaman memang menemukan tantangannya sendiri, sebelum ini tepatnya dalam rentang tahun 1950 hingga 1960-an kita pernah mengalami sebuah fase kebangkrutan ekonomi tingkat tinggi, sampai – sampai muncullah fenomena “gunting syafrudin” yakni menggunting uang kertas menjadi dua dengan penyesuaian nilai untuk mengatasi devaluasi dan menekan inflasi, langkah brilliant Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan (selanjutnya menjabat Gubernur Bank Indonesia pertama) kala itu menuai pujian dari dalam dan luar negeri namun badai krisis memang teramat dahsyat menerpa lantaran lemahnya fundamental ekonomi bangsa kita saat itu yang berimplikasi sosial dengan terjadinya kelangkaan minyak, lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat dan krisis pangan akut yang diperparah dengan carut marut tata kelola pemerintahan akibat memanasnya suhu politik sebelum akhirnya mencapai klimaknya pada akhir tahun 1965 dengan mengerasnya tiga tuntutan rakyat (TRITURA) yaitu Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bersihkan kabinet (pemerintah) dari unsur – unsur PKI.

Revolusi Hijau

Pemerintahanpun berganti, krisis pangan yang melatarbelakangi tidak boleh terjadi dan dimulailah sebuah revolusi hijau dengan sebuah gengsi untuk membalikkan keadaan dari sebuah negera agraris pengimpor beras terbesar didunia beralih menjadi negeri dengan status “Swasembada”

Mesin – mesin revolusi hijau bekerja cepat melalui intensifikasi, diversifikasi hingga mekanisasi pertanian, saat itulah kita mengenal benih – benih unggul hibrida seperti IR dan sejenisnya yang secara “terhormat” menggeser benih – benih unggul lokal yang diklaim memiliki produktifitas tinggi, varietas unggul tahan wereng (VUTW) berhasil dibudidayakan dengan intensitas penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang lagi – lagi “secara terhormat” menggeser Pupuk Kandang, Pupuk Alami dan Pestisida Nabati yang sebelumnya menjadi tradisi pertanian lokal.

Mimpi Swasembada pangan memang pada akhirnya tercapai namun ledakan jumlah penduduk yang menurut Bung Haji Rhoma Irama mencapai angka fantastis 125 juta harus dikendalikan secara terpadu tidak saja dengan program Keluarga Berencana (KB) tetapi juga dengan sebuah proyek besar bernama Transmigrasi.

Buya Mohammad Natsir sangat menaruh harapan terhadap program ini menurut beliau kesenjangan pembangunan di luar Jawa salah satu faktornya adalah kurangnya sumber daya manusia yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa, Buya Natsir lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dipimpinnya kemudian menerjunkan dai – dai muda potensial untuk disebar di daerah – daerah yang tertinggal.

Revolusi Hijau Kebablasan

Pembukaan lahan di berbagai pulau didukung dengan diterbitkannya sertifikat HPH (Hak Pengelolahan Hutan) yang dikantongi oleh sejumlah perusahaan rekanan pemerintah, ujung –ujungnya pembukaan hutan menjadi tidak terkendali, sejumlah pengusaha mengeksploitasi hutan demi memperkaya diri modusnya beragam namun secara garis besar berputar pada tiga hal yakni pembalakan liar, penyelundupan kayu ilegal dan perburuan satwa – satwa langka yang seharusnya dilindungi. Ketika itu LSM – LSM peduli lingkungan hidup seperti wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) terus bersuara menentang eksploitasi hutan sebagai biang perusakan lingkungan hidup, mengganggu kelestarian habitat dan merusak keseimbangan ekosistem.

Episode Krisis pangan pada akhirnya menggulirkan banyak bola liar hingga akhirnya Revolusi Hijau banyak dinilai sebagai kebijakan besar dengan biaya tinggi dan ongkos sosial yang teramat mahal.

Reformasi Hijau Berkelanjutan

Belum lama menjabat, Menhut MS Ka’ban dituding sebagai biang kerusakan lingkungan hidup, padahal secara obyektif perusakan dan kerusakan lingkungan telah terjadi sejak lama melalui berkali – kali pergantian menteri kehutanan dan justru MSK-lah yang lantang dan istiqomah menyuarakan program penanaman sejuta pohon (belia menanam dewasa memanen), pemberantasan illegal logging hingga tuntas ke akar – akarnya dengan berkoordinasi dengan Jajaran Kepolisian RI dan Pemerintah Daerah, MSK tidak ketinggalan mengeluarkan Permenhut yang mengatur pembatasan izin HPH, pengelolaan HTI dan transparansi Konversi Hutan dengan melibatkan multipihak yang kompeten dengan persetujuan parlemen.

Ketika Walhi menuding dan menghujat langkah – langkah “Reformasi Hijau” MSK maka siapapun bisa menilai betapa Walhi telah kehilangan independensinya sebagai pejuang lingkungan hidup lantaran tidak bersedia diajak duduk bersama berdialog menuntaskan permasalahan lingkungan hidup yang tidak se-sederhana yang dibayangkan.

MSK melalui program “reformasi hijau” dengan keras menyatakan perang terhadap pengusaha – pengusaha nakal para eksploitir hutan, pembalak – pembalak dan penyelundup liar juga para pelaku perdagangan satwa – satwa langka nusantara.

MSK menggulirkan berbagai program “reformasi hijau” bukan semata – mata demi mengatasi pemanasan global namun demi menjaga Penghijauan Bumi Berkelanjutan karena hakikatnya Bumi, Air dan semua kekayaan Alam yang terkandung didalamnya harus dijaga agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Penghijauan Harus Libatkan Masyarakat

Hutan yang hijau dan lestari, tidak saja mancegah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, tetapi juga sebagai pendukung kehidupan. Itulah sebabnya, gerakan penghijauan (gerhan) merupakan salah satu program pemerintah yang saat ini tengah digalakkan.

Keberadaan hutan di Kabupaten Pacitan sebagian besar, sekitar 97 persen, merupakan hutan rakyat. Sehingga gerakan penghijauan harus melibatkan masyarakat secara langsung. Di antaranya, dengan melakukan penanaman kembali lahan kritis. ''Secara ekonomi, hutan memang memberi manfaat bagi masyarakat. Tetapi, masyarakat tidak harus bergantung pada hasil hutan berupa tanaman keras,'' kata Markum Singodimejo, anggota DPR RI, saat melakukan kunjungan kerja di Desa Kedungbendo, Arjosari, Pacitan, Jumat (20/6).

Fungsi hutan selama ini, sering berbenturan. Khususnya hutan untuk kelestarian lingkungan dan hutan sebagai kebutuhan ekonomi masyarakat. Apalagi, setiap tahun permintaan kebutuhan tanaman hutan terus meningkat. Begitu juga harga kayu hutan juga terus naik. Di sisi lain, menebang kayu hutan merupakan cara mudah bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.

Karena itu, perlu langkah strategis dalam upaya pelestarian hutan. Selain mengajak masyarakat melakukan penghijauan, juga menawarkan model penguatan sektor pendukung. Misalnya, pemerintah memberi bantuan ternak kepada petani. Sehingga, aset itu dapat ditukar uang saat petani membutuhkan. ''Dengan begitu, tanaman kehutanan yang ada tetap terjaga kelestariannya,'' papar mantan Bupati Ponorogo ini.

Selain meninjau lokasi gerakan penghijauan, sembilang anggota Komisi IV DPR RI juga melihat penanaman lahan kering di Desa Candi, Kecamatan Pringkuku. Penanaman dengan sistem pot itu untuk lahan kering (berbatu dan tandus). Dengan harapan, bibit tanaman bisa tetap tumbuh di lahan kering tersebut.

Kedatangan rombongan anggota DPR RI di Kedungbendo, sempat menarik perhatian para wartawan. Bahkan, sejak pagi, beberapa wartawan dari media cetak dan elektronik sudah menunggu di lokasi. Sebab, awalnya muncul informasi kedatangan wakil rakyat itu untuk jaring aspirasi masyarakat terkait rencana pembangunan bendungan Kedungbendo.

Dampak Banjir

Tuban, Kompas - Hingga Minggu (23/3), warga korban banjir masih bertahan di tenda- tenda tempat pengungsian di Desa Simorejo, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban. Mereka mengeluhkan gangguan kesehatan serta kesulitan air bersih dan makanan.

Sejumlah warga mengalami gangguan saluran pernapasan, diare, dan gatal-gatal. "Bagaimana tidak sakit-sakitan, kami mandi, memasak, dan mencuci juga menggunakan air banjir. Untuk masak air diinapkan (diendapkan dulu) sampai jernih," ujar Wiji, warga yang juga mengungsi di Desa Simorejo.

Persoalan lain timbul saat warga ingin memasak beras atau mi instan bantuan dermawan. Harga minyak tanah Rp 3.500 per liter, itu pun barangnya langka. "Mau buat tungku pakai kayu bakar juga basah," tutur Wiji.

Warga tidak hanya kesulitan air bersih, tetapi juga panganan siap santap dan harus bergelut dengan sakit. Warga memilih bertahan di pengungsian dalam suasana gelap bila tidak ada minyak tanah untuk ublik (lampu penerang).

Tenda yang sempit juga harus dihuni empat hingga enam orang. Bahkan ada warga yang menyediakan tempat istirahat jadi satu dengan tenda untuk sapi atau kambing mereka dengan ukuran yang lebih sempit.

Warga juga dipusingkan dengan matinya sumber ekonomi mereka, sawah atau tambak terendam dan tidak bisa diharapkan hasilnya. Ketika air disangka surut lalu warga dengan bersemangat menanam padi, dan saat sudah pemupukan kedua tanaman yang dijadikan harapan menyambung hidup terendam lagi.

Sementara mereka tidak punya keahlian lain sehingga banyak yang terjebak utang. Jalan yang ditempuh sebagai sumber ekonomi sementara di antaranya adalah mencari ikan. "Ada yang menjaring, ada yang memasang wuwu (bubu, perangkap ikan). Kalau hasilnya banyak ya dijual, kalau tidak ya dimakan sendiri sekeluarga," kata Bakir (56). Mulai surut

Sementara itu, di Kabupaten Jember, meski hujan rintik-rintik sempat turun selama beberapa jam pada Sabtu (22/3), sejak sore hingga pukul 22.00 air yang sehari sebelumnya menggenangi beberapa tempat di Desa Wonoasri, Andungrejo, Curahlele, dan Pondokrejo di Kecamatan Tempurejo sudah mulai surut. Genangan air ada setinggi lutut atau sekitar 20 sentimeter pada Minggu (23/3) pagi dan hanya terpusat pada satu dusun, yakni Dusun Kraton, Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo.

Sebagian besar warga sudah mulai membersihkan rumah dari kotoran yang terseret arus air. Palang Merah Indonesia setempat dan petugas satuan pelaksana penanggulangan bencana masih menyediakan bantuan makanan bagi sebagian warga korban banjir demi meringankan beban mereka. Petugas kesehatan secara bergantian disiagakan di Balaidesa Wonoasri selama 24 jam.

TIPS MENGHADAPI BANJIR

Ada beberapa hal yang perlu anda ketahui untuk mencegah banjir, menghadapi banjir dan ketika sesudah banjir. Berikut ini adalah tipsnya:

SEBELUM BANJIR

  • Kerja bakti membersihkan saluran air
  • Melaksanakan kegiatan 3M (Menguras, Menutup dan Menimbun) benda-benda yang dapat menjadi sarang nyamuk
  • Membuang sampah pada tempatnya
  • Menyediakan bak penyimpanan air bersih

SAAT BANJIR

  • Evakuasi keluarga ketempat yang lebih tinggi
  • Matikan peralatan listrik/sumber listrik
  • Amankan barang-barang berharga dan dokumen penting ke tempat yang aman
  • Ikut mendirikan tenda pengungsian, pembuatan dapur umum
  • Terlibat dalam pendistribusian bantuan
  • Mengusulkan untuk mendirikan pos kesehatan
  • Menggunakan air bersih dengan efisien

SESUDAH BANJIR

  • Membersihkan tempat tinggal dan lingkungan rumah
  • Melakukan pembrantasan sarang nyamuk ( PSN )
  • Terlibat dalam kaporitisasi sumur gali
  • Terlibat dalam perbaikan jamban dan saluran pembuangan air limbah (SPAL)




Pencemaran tanah dan Dampaknya

pencemaran-tanah.jpg

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi bio massa: “Tanah adalah salah atu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.”
Tetapi akibat kegiatan manusia, banyak terjadi kerusakan tanah. Di dalam PP No. 150 th. 2000 disebutkan bahwa “Kerusakan / pencemaran tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah”.
Dalam rubrik ini kita akan melihat beberapa hal tentang; penyebab pencemaran tanah, dampaknya, dan cara penanggulangannya.

Penyebab Pencemaran Tanah
Tanah adalah bagian penting dalam menunjang kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Kita ketahui rantai makanan bermula dari tumbuhan. Manusia, hewan hidup dari tumbuhan. sebagian besar makanan kita berasal dari permukaan tanah, walaupun memang ada tumbuhan dan hewan yang hidup di laut. Sudah sepatutnya kita menjaga kelestarian tanah sehingga bisa mendukung kehidupan di muka bumi ini. Sebagaimana pencemaran air dan udara, pencemaran tanah pun merupakan akibat kegiatan manusia.
Pencemaran tanah bisa disebabkan limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian .

Limbah domestik
Limbah domestik yang bisa menyebabkan pencemaran tanah bisa berasal dari daerah: pemukiman penduduk; perdagang-an/pasar/tempat usaha hotel dan lain-lain; kelembagaan misalnya kantor-kantor pemerintahan dan swasta; dan wisata, bisa berupa limbah padat dan cair.
1. Limbah padat berbentuk sampah anorganik. Jenis sampah ini tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (non-biodegradable), misalnya kantong plastik, bekas kaleng minuman, bekas botol plastik air mineral, dsb.
2. Limbah cair berbentuk; tinja, deterjen, oli, cat, jika meresap kedalam tanah akan merusak kandungan air tanah dan bisa membunuh mikro-organisme di dalam tanah.

Limbah industri
Limbah industri yang bisa menyebabkan pencemaran tanah berasal dari daerah: pabrik, manufaktur, industri kecil, industri perumahan, bisa berupa limbah padat dan cair.
1. Limbah industri yang padat atau limbah padat yang adalah hasil buangan industri berupa padatan, lumpur, bubur yang berasal dari proses pengolahan. Misalnya sisa pengolahan pabrik gula, pulp, kertas, rayon, plywood, pengawetan buah, ikan daging dll.
2. Limbah cair yang adalah hasil pengolahan dalam suatu proses produksi, misalnya sisa-sisa pengolahan industri pelapisan logam dan industri kimia lainnya. Tembaga, timbal, perak, khrom, arsen dan boron adalah zat hasil dari proses industri pelapisan logam

Limbah pertanian
Limbah pertanian yang bisa menyebabkan pencemaran tanah merupakan sisa-sisa pupuk sintetik untuk menyuburkan tanah/tanaman, misalnya pupuk urea, pestisida pemberantas hama tanaman, misalnya DDT.

Dampak Pencemaran Tanah
Timbunan sampah yang berasal dari limbah domestik dapat mengganggu/ mencemari karena: lindi (air sampah), bau dan estetika. Timbunan sampah juga menutupi permukaan tanah sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan.

http://onfinite.com/libraries/1283872/5e9.jpg

Timbunan sampah bisa menghasilkan gas nitrogen dan asam sulfida, adanya zat mercury, chrom dan arsen pada timbunan sampah bisa timbulkan pencemaran tanah / gangguan terhadap bio tanah, tumbuhan, merusak struktur permukaan dan tekstur tanah. Limbah lainnya adalah oksida logam, baik yang terlarut maupun tidak menjadi racun di permukaan tanah.

Yang menyebabkan lapisan tanah tidak dapat ditembus oleh akar tanaman dan tidak tembus air adalah Sampah anorganik tidak ter-biodegradasi, sehingga peresapan air dan mineral yang dapat menyuburkan tanah hilang dan jumlah mikroorganisme di dalam tanahpun akan berkurang, oleh sebab itu tanaman sulit tumbuh dan bahkan mati sebab tidak mendapatkan makanan untuk berkembang.

Tinja, deterjen, oli bekas, cat, adalah limbah cair rumah tangga; peresapannya kedalam tanah akan merusak kandungan air tanah dan zat kimia yang terkandung di dalamnya dapat membunuh mikro-organisme di dalam tanah, inilah salah satunya yang disebutkan sebagai pencemaran tanah.

Padatan, lumpur, bubur yang berasal dari proses pengolahan adalah limbah padat hasil buangan industri. Adanya reaksi kimia yang menghasilkan gas tertentu menyebabkan penimbunan limbah padat ini busuk yang selain menyebabkan pencemaran tanah juga menimbulkan bau di sekitarnya karena .

Tertimbunnya limbah ini dalam jangka waktu lama menyebabkan permukaan tanah menjadi rusak dan air yang meresap ke dalam tanah terkontaminasi bakteri tertentu dan berakibat turunnya kualitas air tanah pada musim kemarau oleh karena telah terjadinya pencemaran tanah. Timbunan yang mengering akan dapat mengundang bahaya kebakaran.

Sisa hasil industri pelapisan logam yang mengandung zat-zat seperti tembaga, timbal, perak,khrom, arsen dan boron adalah limbah cair yang sangat beracun terhadap mikroorganisme. Peresapannya ke dalam tanah akan mengakibatkan kematian bagi mikroorganisme yang memiliki fungsi sangat penting terhadap kesuburan tanah dan dalam hal ini pun menyebabkan pencemaran tanah.

Pupuk yang digunakan secara terus menerus dalam pertanian akan merusak struktur tanah, yang menyebabkan kesuburan tanah berkurang dan tidak dapat ditanami jenis tanaman tertentu karena hara tanah semakin berkurang. Dalam kondisi ini tanpa disadari justru pupuk juga mengakibatkan pencemaran tanah.

Pestisida yang digunakan bukan saja mematikan hama tanaman tetapi juga mikroorga-nisme yang berguna di dalam tanah. Padahal kesuburan tanah tergantung pada jumlah organisme di dalamnya. Selain pencemaran tanah penggunaan pestisida yang terus menerus akan mengakibatkan hama tanaman kebal terhadap pestisida tersebut.

Cara Menanggulangi Pencemaran Tanah
Penanganan khusus terhadap limbah domestik yang berjumlah sangat banyak diperlukan agar tidak mencemari tanah. Pertama sampah tersebut kita pisahkan ke dalam sampah organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (biodegradable) dan sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme (nonbiodegradable). Akan sangat baik jika setiap rumah tangga bisa memisahkan sampah atau limbah atas dua bagian yakni organik dan anorganik dalam dua wadah berbeda sebelum diangkut ketempat pembuangan akhir.

Sampah organik yang terbiodegradasi bisa diolah, misalnya dijadikan bahan urukan, kemudian kita tutup dengan tanah sehingga terdapat permukaan tanah yang dapat kita pakai lagi; dibuat kompos; khusus kotoran hewan dapat dibuat biogas dll sehingga dalam hal ini bukan pencemaran tanah yang terjadi tetapi proses pembusukan organik yang alami.

Sampah anorganik yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme. Cara penanganan yang terbaik dengan daur ulang. Kurangilah penggunaan pupuk sintetik dan berbagai bahan kimia untuk pemberantasan hama seperti pestisida.

Limbah industri harus diolah dalam pengolahan limbah, sebelum dibuang kesungai atau kelaut.

Kurangilah penggunaan bahan-bahan yang tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (nonbiodegradable). Salah satu contohnya adalah dengan mengganti plastik sebagai bahan kemasan/pembungkus dengan bahan yang ramah lingkungan seperti dengan daun pisang atau daun jati.


Penutup
Kekayaan kita sebagian besarnya diperoleh dari tanah. Kehidupan di bumi ini sangat bergantung pada tanah. Tumbuhan memperoleh air dan mineral dari tanah. Makanan yang kita peroleh dan hewan bergantung pada tumbuhan. Jadi makanan kita sebenarnya berasal dari tanah.

Lingkungan Bebas Pencemaran Sampah

SUNGGUH ironis, Ketika masyarakat memulai aktivitasnya pada pagi hari dengan udara yang masih segar dan bersih, di beberapa ruas jalan melintas mobil truk pengangkut sampah dengan sampah yang membubung tinggi di baknya, tanpa penutup.

Akhir - akhir ini semarak Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni seakan sudah luntur hakikatnya terlibas pencemaran lingkungan yang terjadi di berbagai tempat.

Pada tahun 1972, telah diadakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm, Swedia. Pada pembukaan konferensi itu, tanggal 5 Juni, disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Dalam konferensi tersebut disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tidak lanjut. Kini yang patut dipertanyakan, bagaimana pengelolaan lingkungan hidup di negara kita, setelah 32 tahun dicanangkan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia ?

Di negara-negara maju, pencemaran oleh industri mendominasi permasalahan lingkungan. Namun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pada umumnya pencemaran oleh limbah domestik yaitu limbah yang berasal dari rumah tangga, lebih terlihat/ menonjol dibandingkan pencemaran oleh Industri.

Di Ibukota provinsi Jawa Tengah Semarang misalnya, tidak kurang dari 4.000 m3 sampah yang ditanggani setiap harinya oleh Dinas Kebersihan Kota. Dari sejumlah itu, baru 65% yang tertangani secara maksimal dan terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Jatibarang Mijen. Walaupun pengangkutan sampah di wilayah pemukiman dan jalan jalan protokol dimulai sekitar pukul 05.00, namun mengingat ada 113 titik penempatan kontainer sebagai tempat pembuangan sementara (TPS) maka pengangkutan sampah ke TPA Jatibarang membutuhkan 4 - 5 kali jalan (rit) setiap harinya tanpa bisa menghindari jam - jam padat lalu lintas.

Permasalahan muncul tatkala truk sampah ataupun kontainer yang sudah terisi penuh sampah, melintas di jalan besar. Walaupun sudah ada jaring penutup dengan mata jaring (diameter 2 x 2 cm) , toh tidak jarang menimbulkan bau menyengat yang sangat mengganggu pengguna jalan yang lain disamping mencemari udara sekitar. Belum lagi jika jaring penutup tersebut ada yang renggang sehingga sampah-sampah kecil masih bisa beterbangan.

Penempatan kontainer sebagai tempat pembuangan sementara juga layak dicermati. Apakah titik - titik penempetan kontainer tersebut sudah memenuhi estetika serta lingkungan yang baik dan sehat ?

Instrumen Hukum

Fenomena itulah yang sering terlihat di kota-kota besar yang padat penduduknya, dan seakan sudah menjadi budaya " biasa dipandang", padahal kita punya instrumen hukum yang bisa menyentuhnya. Kita lihat saja adanya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang - undang tersebut jelas tertulis : " Pengelolaaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengemdalian lingkungan hidup".

Dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 antara lain disebutkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup; tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; serta terjaminnya kepentingan generasi kini dan generasi masa depan.

Sedangkan dari sisi UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 9 ayat 3 setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Alangkah indahnya jika instrumen hukum tersebut bisa melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang tidak terpolusi sehingga menciptakan generasi yang sehat. Apalagi ditunjang adanya Perda penunjukan Kawasan Tertib Kebersihan di kota - kota besar.

Penempatan kontainer di tempat yang kurang tepat - misalnya di dekat permukiman , warung, tempat ibadah, dll. - kian mengganggu ketika penutup kontainer rusak bahkan tidak ada sama sekali sehingga sampah yang menumpuk menjadi pemandangan yang tidak sedap, ditambah bau menyengat yang ditimbulkan bisa memicu masalah lain berkait dengan kesehatan.

D isini diperlukan keterlibatan berbagai pihak termasuk masyarakat. Melalui rembuk warga, yang kemudian diteruskan ke tingkat kelurahan dan kecamatan dicarikan solusi yang terbaik tentu saja dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

Di beberapa kota bengkel-bengkel perbaikan kontainer sebenarnya cukup memadai seperti di Semarang ada tiga tempat. Namun mengingat jumlah kontainer yang rusak hampir mencapai 20% maka perlu diambil langkah yang tepat agar tidak menganggu operasional pengangkutan sampah itu sendiri.

Alternatif Jaring

Budaya penggunaan jaring penutup sampah pada truk sampah maupun kontainer sudah selayaknya mulai dipikirkan. Mengingat diameter jaring yang dipakai saat ini terlalu renggang, maka alternatif lain bisa dipilih dengan jaring yang lebih rapat dengan diameter satu millimeter.Dengan mata jaring yang rengket kemungkinan sampah beterbangan sangat kecil dan membantu meredam bau yang menyengat.

Selain itu sudah saatnya masyarakat memulai membudayakan pemisahan limbah kering dan limbah basah dari rumah tangga yang ditempatkan di kantong-kantong plastik seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Dengan begitu masyarakat ikut peduli pada lingkungan dan anak cucu kita mendatang tidak perlu memakai masker jika bermain di halaman rumah atau di jalan kampung.

Efek Rumah Kaca Ancam Terumbu Karang Dunia












Efek Rumah Kaca Ancam Terumbu Karang Dunia
Jejak keberadaan koloni terumbu karang yang telah mati menjadi karakter unik kawasan tepi pantai yang berkarang di Pantai Pasir Putih, Desa Sukahujan, Malingping, Lebak, Banten, Senin (7/4). Kawasan pantai karang merupakan ekosistem yang sanggup beradaptasi dengan kondisi alam yang ekstrem, seperti pasang surut laut, gelombang tinggi, perubahan cuaca ekstrem, juga salinitas air laut yang berubah-ubah.
Kamis, 11 Desember 2008 | 07:48 WIB

POZNAN, RABU - Dunia telah kehilangan hampir 20 persen terumbu karangnya akibat emisi karbon dioksida, demikian laporan yang disiarkan di Poznan, Polandia, Rabu (10/12). Laporan yang dirilis Global Coral Reef Monitoring Network ini merupakan upaya memberi tekanan atas peserta konferensi PBB mengenai iklim agar membuat kemajuan dalam memerangi kenaikan suhu global.

"Jika kecenderungan emisi karbon dioksida saat ini terus berlangsung, banyak terumbu karang mungkin akan hilang dalam waktu 20 sampai 40 tahun mendatang, dan ini akan memiliki konsekuensi bahaya bagi sebanyak 500 juta orang yang bergantung atas terumbu karang untuk memperoleh nafkah mereka," ungkap laporan tersebut.

"Jika tak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di atmosfer dalam waktu kurang dari 50 tahun," ujar Carl Gustaf Lundin, pimpinan program kelautan global di International Union for Conservation of Nature, salah satu organisasi di belakang Global Coral Reef Monitoring Network.

"Karena karbon ini diserap, samudra akan menjadi lebih asam, yang secara serius merusak sangat banyak biota laut dari terumbu karang hingga kumpulan plankton dan dari udang besar hingga rumput laut," tambahnya.

Saat ini, perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi terumbu karang. Ancaman utama iklim, seperti naiknya temperatur permukaan air laut dan tingkatan keasaman air laut, bertambah besar oleh ancaman lain termasuk pengkapan ikan secara berlebihan, polusi dan spesies pendatang.

Yang membesarkan hati dari laporan tersebut adalah sekitar 45 persen terumbu karang saat ini masih berada dalam kondisi sehat. Harapan lainnya adalah kemampuan sebagian terumbu karang untuk pulih setelah peristiwa besar "bleaching" akibat air yang menghangat, dan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.

"Laporan itu merinci konsensus kuat ilmiah bahwa perubahan iklim harus dibatasi pada tingkat minimum absolut," ungkap Clive Wilkinson, Koordinator Global Coral Reef Monitoring Network.

Laporan tersebut juga menyatakan terumbu karang memiliki peluang lebih tinggi untuk bertahan hidup pada saat perubahan iklim terjadi, jika faktor tekanan lain yang berkaitan dengan kegiatan manusia diperkecil.