Image by Igan Lantang klik di http://www.pbb-info.com
Prahara ekonomi, sosial dan politik
Setiap zaman memang menemukan tantangannya sendiri, sebelum ini tepatnya dalam rentang tahun 1950 hingga 1960-an kita pernah mengalami sebuah fase kebangkrutan ekonomi tingkat tinggi, sampai – sampai muncullah fenomena “gunting syafrudin” yakni menggunting uang kertas menjadi dua dengan penyesuaian nilai untuk mengatasi devaluasi dan menekan inflasi, langkah brilliant Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan (selanjutnya menjabat Gubernur Bank Indonesia pertama) kala itu menuai pujian dari dalam dan luar negeri namun badai krisis memang teramat dahsyat menerpa lantaran lemahnya fundamental ekonomi bangsa kita saat itu yang berimplikasi sosial dengan terjadinya kelangkaan minyak, lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat dan krisis pangan akut yang diperparah dengan carut marut tata kelola pemerintahan akibat memanasnya suhu politik sebelum akhirnya mencapai klimaknya pada akhir tahun 1965 dengan mengerasnya tiga tuntutan rakyat (TRITURA) yaitu Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bersihkan kabinet (pemerintah) dari unsur – unsur PKI.
Revolusi Hijau
Pemerintahanpun berganti, krisis pangan yang melatarbelakangi tidak boleh terjadi dan dimulailah sebuah revolusi hijau dengan sebuah gengsi untuk membalikkan keadaan dari sebuah negera agraris pengimpor beras terbesar didunia beralih menjadi negeri dengan status “Swasembada”
Mesin – mesin revolusi hijau bekerja cepat melalui intensifikasi, diversifikasi hingga mekanisasi pertanian, saat itulah kita mengenal benih – benih unggul hibrida seperti IR dan sejenisnya yang secara “terhormat” menggeser benih – benih unggul lokal yang diklaim memiliki produktifitas tinggi, varietas unggul tahan wereng (VUTW) berhasil dibudidayakan dengan intensitas penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang lagi – lagi “secara terhormat” menggeser Pupuk Kandang, Pupuk Alami dan Pestisida Nabati yang sebelumnya menjadi tradisi pertanian lokal.
Mimpi Swasembada pangan memang pada akhirnya tercapai namun ledakan jumlah penduduk yang menurut Bung Haji Rhoma Irama mencapai angka fantastis 125 juta harus dikendalikan secara terpadu tidak saja dengan program Keluarga Berencana (KB) tetapi juga dengan sebuah proyek besar bernama Transmigrasi.
Buya Mohammad Natsir sangat menaruh harapan terhadap program ini menurut beliau kesenjangan pembangunan di luar Jawa salah satu faktornya adalah kurangnya sumber daya manusia yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa, Buya Natsir lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dipimpinnya kemudian menerjunkan dai – dai muda potensial untuk disebar di daerah – daerah yang tertinggal.
Revolusi Hijau Kebablasan
Pembukaan lahan di berbagai pulau didukung dengan diterbitkannya sertifikat HPH (Hak Pengelolahan Hutan) yang dikantongi oleh sejumlah perusahaan rekanan pemerintah, ujung –ujungnya pembukaan hutan menjadi tidak terkendali, sejumlah pengusaha mengeksploitasi hutan demi memperkaya diri modusnya beragam namun secara garis besar berputar pada tiga hal yakni pembalakan liar, penyelundupan kayu ilegal dan perburuan satwa – satwa langka yang seharusnya dilindungi. Ketika itu LSM – LSM peduli lingkungan hidup seperti wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) terus bersuara menentang eksploitasi hutan sebagai biang perusakan lingkungan hidup, mengganggu kelestarian habitat dan merusak keseimbangan ekosistem.
Episode Krisis pangan pada akhirnya menggulirkan banyak bola liar hingga akhirnya Revolusi Hijau banyak dinilai sebagai kebijakan besar dengan biaya tinggi dan ongkos sosial yang teramat mahal.
Reformasi Hijau Berkelanjutan
Belum lama menjabat, Menhut MS Ka’ban dituding sebagai biang kerusakan lingkungan hidup, padahal secara obyektif perusakan dan kerusakan lingkungan telah terjadi sejak lama melalui berkali – kali pergantian menteri kehutanan dan justru MSK-lah yang lantang dan istiqomah menyuarakan program penanaman sejuta pohon (belia menanam dewasa memanen), pemberantasan illegal logging hingga tuntas ke akar – akarnya dengan berkoordinasi dengan Jajaran Kepolisian RI dan Pemerintah Daerah, MSK tidak ketinggalan mengeluarkan Permenhut yang mengatur pembatasan izin HPH, pengelolaan HTI dan transparansi Konversi Hutan dengan melibatkan multipihak yang kompeten dengan persetujuan parlemen.
Ketika Walhi menuding dan menghujat langkah – langkah “Reformasi Hijau” MSK maka siapapun bisa menilai betapa Walhi telah kehilangan independensinya sebagai pejuang lingkungan hidup lantaran tidak bersedia diajak duduk bersama berdialog menuntaskan permasalahan lingkungan hidup yang tidak se-sederhana yang dibayangkan.
MSK melalui program “reformasi hijau” dengan keras menyatakan perang terhadap pengusaha – pengusaha nakal para eksploitir hutan, pembalak – pembalak dan penyelundup liar juga para pelaku perdagangan satwa – satwa langka nusantara.
MSK menggulirkan berbagai program “reformasi hijau” bukan semata – mata demi mengatasi pemanasan global namun demi menjaga Penghijauan Bumi Berkelanjutan karena hakikatnya Bumi, Air dan semua kekayaan Alam yang terkandung didalamnya harus dijaga agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.