Senin, 09 Februari 2009

Lingkungan Bebas Pencemaran Sampah

SUNGGUH ironis, Ketika masyarakat memulai aktivitasnya pada pagi hari dengan udara yang masih segar dan bersih, di beberapa ruas jalan melintas mobil truk pengangkut sampah dengan sampah yang membubung tinggi di baknya, tanpa penutup.

Akhir - akhir ini semarak Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni seakan sudah luntur hakikatnya terlibas pencemaran lingkungan yang terjadi di berbagai tempat.

Pada tahun 1972, telah diadakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm, Swedia. Pada pembukaan konferensi itu, tanggal 5 Juni, disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Dalam konferensi tersebut disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tidak lanjut. Kini yang patut dipertanyakan, bagaimana pengelolaan lingkungan hidup di negara kita, setelah 32 tahun dicanangkan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia ?

Di negara-negara maju, pencemaran oleh industri mendominasi permasalahan lingkungan. Namun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pada umumnya pencemaran oleh limbah domestik yaitu limbah yang berasal dari rumah tangga, lebih terlihat/ menonjol dibandingkan pencemaran oleh Industri.

Di Ibukota provinsi Jawa Tengah Semarang misalnya, tidak kurang dari 4.000 m3 sampah yang ditanggani setiap harinya oleh Dinas Kebersihan Kota. Dari sejumlah itu, baru 65% yang tertangani secara maksimal dan terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Jatibarang Mijen. Walaupun pengangkutan sampah di wilayah pemukiman dan jalan jalan protokol dimulai sekitar pukul 05.00, namun mengingat ada 113 titik penempatan kontainer sebagai tempat pembuangan sementara (TPS) maka pengangkutan sampah ke TPA Jatibarang membutuhkan 4 - 5 kali jalan (rit) setiap harinya tanpa bisa menghindari jam - jam padat lalu lintas.

Permasalahan muncul tatkala truk sampah ataupun kontainer yang sudah terisi penuh sampah, melintas di jalan besar. Walaupun sudah ada jaring penutup dengan mata jaring (diameter 2 x 2 cm) , toh tidak jarang menimbulkan bau menyengat yang sangat mengganggu pengguna jalan yang lain disamping mencemari udara sekitar. Belum lagi jika jaring penutup tersebut ada yang renggang sehingga sampah-sampah kecil masih bisa beterbangan.

Penempatan kontainer sebagai tempat pembuangan sementara juga layak dicermati. Apakah titik - titik penempetan kontainer tersebut sudah memenuhi estetika serta lingkungan yang baik dan sehat ?

Instrumen Hukum

Fenomena itulah yang sering terlihat di kota-kota besar yang padat penduduknya, dan seakan sudah menjadi budaya " biasa dipandang", padahal kita punya instrumen hukum yang bisa menyentuhnya. Kita lihat saja adanya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang - undang tersebut jelas tertulis : " Pengelolaaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengemdalian lingkungan hidup".

Dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 antara lain disebutkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup; tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; serta terjaminnya kepentingan generasi kini dan generasi masa depan.

Sedangkan dari sisi UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 9 ayat 3 setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Alangkah indahnya jika instrumen hukum tersebut bisa melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang tidak terpolusi sehingga menciptakan generasi yang sehat. Apalagi ditunjang adanya Perda penunjukan Kawasan Tertib Kebersihan di kota - kota besar.

Penempatan kontainer di tempat yang kurang tepat - misalnya di dekat permukiman , warung, tempat ibadah, dll. - kian mengganggu ketika penutup kontainer rusak bahkan tidak ada sama sekali sehingga sampah yang menumpuk menjadi pemandangan yang tidak sedap, ditambah bau menyengat yang ditimbulkan bisa memicu masalah lain berkait dengan kesehatan.

D isini diperlukan keterlibatan berbagai pihak termasuk masyarakat. Melalui rembuk warga, yang kemudian diteruskan ke tingkat kelurahan dan kecamatan dicarikan solusi yang terbaik tentu saja dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

Di beberapa kota bengkel-bengkel perbaikan kontainer sebenarnya cukup memadai seperti di Semarang ada tiga tempat. Namun mengingat jumlah kontainer yang rusak hampir mencapai 20% maka perlu diambil langkah yang tepat agar tidak menganggu operasional pengangkutan sampah itu sendiri.

Alternatif Jaring

Budaya penggunaan jaring penutup sampah pada truk sampah maupun kontainer sudah selayaknya mulai dipikirkan. Mengingat diameter jaring yang dipakai saat ini terlalu renggang, maka alternatif lain bisa dipilih dengan jaring yang lebih rapat dengan diameter satu millimeter.Dengan mata jaring yang rengket kemungkinan sampah beterbangan sangat kecil dan membantu meredam bau yang menyengat.

Selain itu sudah saatnya masyarakat memulai membudayakan pemisahan limbah kering dan limbah basah dari rumah tangga yang ditempatkan di kantong-kantong plastik seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Dengan begitu masyarakat ikut peduli pada lingkungan dan anak cucu kita mendatang tidak perlu memakai masker jika bermain di halaman rumah atau di jalan kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar